1FENOMENA ARTIS YANG TERJUN KEDUNIA
POLITIK
LATAR
BELAKANG MASALAH :
Dunia
politik itu dunia yang asyik dan penuh dengan intrik. Begitulah kiranya
gambaran bagi dunia politik di indonesia saat ini. Sejak era reformasi tahun
1999, dunia perpolitikan di indonesia semakin tidak terkendali. Bukan hanya
dalam strategi dan intrik yang digunakan saja, melainkan sekarang banyak juga
para politikus dan calon politikus ikut meramaikannya. Sejak era reformasi
banyak terdapat figur yang sebenarnya secara kualitas masih diperdebatkan namun
mereka mempunyai popularitas atau sering disebut dengan istilah artis/publik
figur. Kalangan artis yang terjun kepolitik berasal dari berbagai bidang pula,
seperti penyanyi, pemain film, pemain sinetron, pelawak, dan juga host.
Beberapa
nama artis telah lebih dahulu terjun di dunia politik indonesia, sebut saja
Rieke Diah Pitaloka, Tantowi Yahya, Dedi Gumelar (Miing), Jamal Mirdad, Nurul
Arifin, Venna Melinda, Rachel Maryam, Komar, dan masih banyak lagi. Poupalritas
menjadi salah satu faktor penentu dalam kompetisi politik di negeri ini. Banyak
kalangan menilai bahwa terjunnya artis ke dunia politik bukan hanya atas dasar
kemauan sang artis semata, tetapi juga sebagai sarana untuk mendulang suara
bagi partai-partai peserta pemilu. Wajar saja mereka dipinang oleh partai,
pasalnya keduanya sama-sama diuntungkan dengan "kerjasama" tersebut.
Singkatnya, sang artis dapat keuntungan untuk duduk di kursi parlemen,
sedangkan partai dapat meningkatkan elektabilitas sehingga menambah prosentase
wakil mereka di gedung DPR. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, siapa pun
caleg dalam pemilu di indonesia selama tidak melanggar aturan hukum itu sah-sah
saja. Dan yang paling penting adalah mereka benar-benar menjadi wakil rakyat
yang berpihak pada keadilan dan memuarakan segalanya untuk kesejahteraan
rakyat. Nah, pada pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2014 ini juga tidak
luput dari pentas para artis untuk mendulang suara agar nantinya terpilih
menjadi wakil rakyat di gedung DPR. Banyak artis yang sudah cukup
berpengalaman, namun tidak sedikit pula yang masih minim pengalaman.
2. TINJAUAN
TEORITIS
Pengertian
Artis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah,”ahli seni, seniman, seniwati
(seperti penyanyi, pemain film, pelukis, pemain drama). ”(Tim Penyusun Kamus
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P & K, 1990:49). Dengan
demikian artis dapat juga didefinisikan sebagai selebriti yang dapat diartikan
sebagai orang-orang yang terkenal dalam dunia seni.
Umumnya
alasan orang untuk aktif dalam politik, adalah alasan sama yang mendorongnya
untuk mengerjakan pekerjaan lain yang mana saja yakni, karena memang itu
pilihanya sendiri secara sukarela. Ia mendapatkan kepuasan. Bahkan seorang
sukarelawan yang altruistik bagaimanapun, masih menguntungkan dirinya sendiri
juga, karena alasan mengapa ia aktif adalah untuk memperoleh kepuasan bagi
dirinya sendiri ( Arnold S., 1981:8 ).
Pengertian
Motifasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah :
(1)
Dorongan yang timbul pada diri seseorang sadar atau tidak sadar untuk melakukan
suatu tindakan dengan tujuan tertentu.
(2)
Usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu
tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya
atau mendapat kepuasaan dengan perbuatanya. ( Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K, 1990: 593 ).
Adanya
keinginan para artis untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, telah
menimbulkan motif - motif tertentu yang menjadi dorongan untuk memasuki dunia
politik, karena motif itu sendiri adalah dorongan, keinginan, hasrat dan tenaga
pengerak lainnya yang berasal dari dalam dirinnya ( W.A. Gerungan, 1983:143 ),
sehingga seseorang membentuk aktifitas dominan terhadap kegiatannya ( Hugo F.
Reading,1986:263 ). Namun demikian hasrat artis perlu mendapat dukungan dari
komunitasnya, sehingga semakin menguatkan tekad untuk maju berkompetisi; “ But
motivation isn’t their job. It’s a manager’s job. After all, line management
wants the credit for result - and quite rightly ”. ( Andrew Sargent, 2001:26 ).
Sedangkan
yang melatar belakangi timbulnya motif seseorang adalah karena adanya keinginan
untuk memenuhi kebutuhan , sebagaimana yang dinyatakan oleh Walter Langer bahwa
kebutuhan manusia itu ada tiga macam, yaitu:
1.
Kebutuhan fisik ( physical needs ), yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan
kenyamanan tubuh, seperti makan, minum dan pakaian.
2.
Kebutuhan sosial ( social needs ), yaitu kebutuhan untuk berhubungan dengan
orang lain secara akrab.
3.
Kebutuhan egoistis ( egoistic needs ), yaitu kebutuhan yang tujuannya bakan
semata-mata untuk berhubungan dengan orang lain, akan tetapi lebih dari itu
ingin mendapat pengakuan keistimewaan dari orang lain akan dirinya. ( Walter
Langer dalam Onong U. Effendy, 1983:57-58 ).
Dengan
ketiga macam kebutuhan tersebut, tentunya masing-masing orang memiliki
keinginan untuk dapat memenuhinya, dan dorongan keinginan untuk dapat memenuhi
kebutuhan menyebabkan seseorang termotivasi; baik itu motivasi berprestasi,
motivasi berafiliasi maupun motivasi berkuasa. ( Mc. Clelland dalam Ibrahim
Indrajaya, 1983:78 ).
Dari
ketiga macam motivasi tersebut, dalam penelitian ini ditekankan pada motivasi
berafiliasi yang akan tercermin pada keinginan seseorang untuk menciptakan,
memelihara dan mengembangkan hubungan dan suasana kebatinan serta perasaan yang
saling menyenangkan sesama manusia, atau dengan kata lain ingin selalu
berkelompok dan berinteraksi dengan orang lain.
Bagi
seseorang yang merasa perlu untuk berkelompok, berarti merasa membutuhkan orang
lain, dan bagaimanapun juga, sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain
untuk dapat hidup secara baik dan “ layak ”. Dalam kaitannya dengan penelitian
ini lembaga legislatif dapat digunakan sebagai wadah kegiatan individu maupun
kelompok agar keinginan tersebut dapat terpenuhi; tentunya dengan turut serta
secara aktif dalam rangkaian kegiatan Pemilihan Umum ( Pemilu ) untuk memilih
anggota legislatif.
Pemenuhan
keinginan ( motivasi ) berafiliasi pada penelitian ini akan dioperasikan dalam
bentuk kegiatan menciptakan hubungan, memelihara hubungan serta mengembangkan
hubungan di antara sesama anggota masyarakat pada umumnya serta dengan anggota
partai politik peserta pemilu khususnya. Sehingga keinginan - keinginan
tersebut diarahkan kepada satu faktor, yakni keinginan artis untuk menjadi
anggota legislatif.
Sehubungan
dengan hal itu, lembaga legislatif sebagai sebuah kelompok atau grup menurut
pendekatan sosiologi mengandung arti sejumlah orang yang berinteraksi secara
bersama-sama dan memiliki kesadaran keanggotaan yang didasarkan pada kehendak -
kehendak perilaku yang disepakati bersama.
Kebersamaan
di antara sejumlah orang untuk membentuk menjadi sebuah kelompok sosial,
bukanlah berarti tanpa syarat-syarat tertentu untuk dapat disebut sebagai kelompok
sosial karena;
1.
Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar merupakan sebagian dari kelompok
itu.
2.
Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan yang lainnya, dalam
kelompok itu.
3.
Ada suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota – anggota kelompok
tersebut, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Contoh, nasib yang
sama, kepentingan yang sama, tujuan maupun ideologi yang sama.
4.
Berstruktur, berkaedah dan mempunyai pola perilaku. ( Soerjono Soekanto,
1978:103 ).
Dari
keempat syarat kelompok tersebut, terdapat dasar motif yang berbeda antara satu
orang dengan yang lainnya; oleh karenanya kelompok sosial yang terbentuk–pun
berbeda – beda dalam masyarakat. Untuk motif yang sama mendorong sekelompok
orang untuk mencapai tujuan yang sama pula yang pada akhirnya menjadi kelompok
tersebut.
Dalam
penelitian ini kelompok sosial yang dimaksud adalah lembaga legislatif yaitu
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ).
Lembaga legislatif merupakan suatu lembaga politik yang dibentuk melalui Pemilu
yang akan menjadi wakil – wakil dan menyuarakan aspirasi rakyat yang
diwakilinya. Budayawan Emha Ainun Najib berpendapat, “Parpol yang berlomba
merekrut artis menjadi caleg menunjukan adanya krisis kepercayaan Parpol“
(Kompas, 27 / 2 /2004). Tapi Arswendo Atmowiloto bertolak belakang dengan pandangan
Emha yang mengatakan: “Ada krisis kepercayaan Parpol “, namun Arswendo melihat
kepada personnya dengan mengatakan: “Memang, rata – rata artis kita sudah terbiasa
berjuang, tetapi memperjuangkan diri sendiri. Mana peduli mereka memperjuangkan
kepentingan orang banyak, wong rumah saja gampang bongkar pasang. Habis kepentingannya,
ya selesai “. (Kompas, 27 / 2 / 2004).
Sementara
itu politik adalah siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana ( Harold
Lasswell, 1958:113 ); pembagian nilai – nilai oleh yang berwenang ( David
Easton, 1953;34 ); kekuasaan dan pemegang kekuasaan ( G.E.G. Catin, 1930:467 );
pengaruh ( Edward C. Banfield, 1961:75 ); tindakan yang diarahkan untuk
mempertahankan dan atau memperluas tindakan lainnya ( Michael Weinstein,
1971;365 ). Dan ia adalah kegiatan – yang dibedakan (meskipun tidak selalu
berhasil) dari kegiatan ini – ekonomi, keagamaan, atletik, dan sebagainya. (Dan
Nimmo, 1993:8).
Ploitik,
seperti komunikasi, adalah proses; dan seperti komunikasi, politik melibatkan
pembicaraan. Ini bukan pembicaraan dalam arti sempit seperti kata yang
diucapkan, melainkan pembicaraan dalam arti yang lebih inklusif, yang berarti
segala cara orang bertukar simbol / kata – kata yang dituliskan dan diucapkan,
gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai, dan pakaian. Ilmuwan politik Mark
Roelofs mengatakan dengan cara sederhana: “Politik adalah pembicaraan; atau
lebih tepat, kegiatan berpolitik (“berpolitik“) adalah berbicara. Ia menekankan
bahwa politik tidak hanya pembicaraan, juga tidak semua pembicaraan adalah
politik, dan bukan hanya dasarnya, ialah bahwa ia adalah kegiatan berkomunikasi
antara orang – orang. ” (Mark Roelofs, 1967:46 ).
Tidak
semua calon anggota legislatif adalah politikus karier, hal ini terbukti dalam
Pemilu 2004 ini yang ditandai gejala politik artis beramai – ramai menjadi
calon anggota legislatif melalui organisasi peserta pemilu ( OPP )-nya masing –
masing sebagai kendaraan politiknya.
Berkaitan
dengan kehadiran calon anggota legislatif dari kalangan artis, Arswendo
Atmowiloto mengatakan :
“karena
terbiasa bermain dengan banyak peran, caleg pun akan mereka mainkan seperti
peran – peran yang lain. Artinya, cuma “seolah – olah“ sebagai caleg. Mereka
akan sama baiknya membawakan peran si baik atau si jahat di Senayan tanpa harus
menjadi bagian dari hidupnya. Dengan kata lain tanpa melibatkan perasaan bersalah
atau semacamnya itulah“. (Kompas, 27 / 2 / 2004:37).
Hal
tersebut diatas terjadi karena artis tidak dapat membedakan antara realitas empiris
dan realita panggung. “Tidak ada niat serius benar – benar menjadi caleg dengan
sejumlah sumber daya dan norma tertentu seperti diidealkan “. (Arswendo
Atmowiloto dalam Kompas, 27 / 2 / 2004:37 ). Selanjutnya dikatakan Arswendo
bahwa, “ketidakseriusan menjadi caleg di kalangan para artis ini menjadi karena
tiadanya skenario yang tetap di Senayan, dari awal sampai akhir. Kalau dalam
sinetron, mereka memainkan satu potongan – potongan skenario yang banyak
berubah – ubah “.
John
Cork, dalam komentarnya adalah Arnold Schwarzenegger terpilih sebagai Gubernur
California mengatakan: “ . . . pesona pribadi hampir selalu lebih bermakna
ketimbang politik, memiliki nama tenar lebih penting ketimbang mampu menjawab pertanyaan
seputar isu kampanye. Jika ada seorang bintang, maka media akan melakukan
apapun untuk meliput kampanye anda .“ ( John Cork dalam Time, 10 / 11 / 2003:4
). Pernyataan tersebut benar. Dimanapun, tidak hanya AS, pemujaan selebriti
menjadi semacam agama baru yang dianut dengan takzim. Kepercayaan itu menyebar
dan membangun apa yang disebut Francesco Guardini sebagai “ bentuk kerajaan
baru “, dan bintang film, olahragawan, musisi, model, dan supermodel menjadi
raja dan ratunya.
Kalau
diperbandingkan dengan kehadiran Arnold Schwarzenegger, maka dapat dikemukakan
bahwa Schwazenegger seperti umumnya artis – artis dunia lain, punya perencanaan
yang rapi dan orang – orang yang menyiapkan pidato – pidato politiknya.
Sementara itu kondisi sumber daya manusia artis Indonesia adalah berbanding
terbalik dengan kondisi artis diluar negeri.
Pemilu
merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan Negara
Kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD
1945. Dalam pelaksanaanya akan memiliih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten / Kota yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Untuk itu pada
tahun 2004, akan dilangsungkan Pemilu yang mempunyai sistem yang berbeda dengan
Pemilu yang telah pernah dilakukannya sebelumnya di Indonesia.
Perbedaan
sistem Pemilu 2004 terletak pada sistem proporsional terbuka untuk memilih
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota; dan untuk memilih
anggota DPD diterapkan sistem distrik dengan adanya banyak wakil yaitu empat
orang wakil dalam satu distrik pemilihan. Kenyataan ini menyebabkan pemilih
mengalami suatau kebingungan dan ketidaktahuan yang akan berakibat pada hasil
Pemilu nantinya. Dapat dikemukakan beberapa potret buram pemilih menjelang
Pemilu 2004 dapat diidentifikasi, antara lain :
1.
Pengetahuan pemilih mengenai pemilu tidak memadai. Banyak pemilih kita yang
tidak tahu apa itu DPD atau KPU. Tak sedikit pula yang tak menyadari bahwa
Presiden dipilih langsung dan dalam pemilu sekarang kita juga memilih DPR,
DPRD, dan DPD. Jika terhadap lembaga yang dipilih saja tahu, tak dapat pula
diharapkan mereka mengetahui, apalagi menguji calon pemimpin yang mempengaruhi
bulat lonjong negeri ini.
2.
Mayoritas mereka juga apatis dan tidak yakin dapat mempengaruhi pemerintah.
Kurang dari 20% pemilih yang menyakini bahwa dia dan orang lain sepertinya yang
mampu mempengaruhi Pemerintah. Dengan besarnya jumlah apatisme itu, mayoritas
pemilih merasa terasaring dengan persoalan yang melingkupinya. Karena apatis,
mereka pun tak berupaya menjadikan Pemilu sebagai hari pengadilan untuk
memperoleh pemerintahan yang lebih mampu.
3.
Pemilih cenderung memilih karena kewajiban dan hak, bukan untuk mencari
pemimpin yang lebih baik atau keadaan yang lebih baik. Dari data LSI ( lembaga Survei
Indonesia ) tampak sekali bahwa mereka memilih dalam pemilu seperti melakukan
ritual wajib saja ( 46.5 % ). Sedikit sekali yang menyadari bahwa pemilu dapat
digunakan untuk memperjuangkan hidup agar lebih baik.
4.
Pemilih cenderung mengharapkan hasil yang segera memberikan hasil dan
memberikan jangka pendek. Mayoritas pemilih tak sabar dengan perubahan besar
yang dibawa politik reformasi lima tahun terakhir. Tak heran, mayoritas pemilih
sekarang sekitar 60 % menganggap Orde Baru lebih baik ketimbang sistem
sekarang. Tokoh dari masa silam, yang pandai memanfaatkan sentimen publik yang
sedang nostalgik ini, niscaya berpeluang kembali mentas politik nasional.
Akibatnya Indonesia dapat kembali berjalan kebelakang, bukan ke depan.
5.
Tujuh tahun dalam kesulitan ekonomi membuat mayoritas pemilih tak terlalu
peduli dengan isu yang tak berhubungan langsung dengan kesulitannya saat ini.
Bagi mereka ( 70 % ) yang penting harga sembako murah dan tak sulit mencari
kerja. Berbagi isu yang penting fondasi negara modern, seperti pemberantasan
korupsi dan penegakan hukum, hanya dianggap prioritas oleh sekitar masing –
masing 5 % saja. ( Denny J.A. Jawa Pos, 22 / 1 / 2004 ).
Dengan
adanya gambaram pemilih yang demikian , maka dalam sebuah penyelenggaraannya
pemilu masyarakat demokrasi, orang sedikit banyak dapat menerima alasan, untuk
adanya pemerintahan; paling tidak ia beranggapan, pemerintahan itu akan tetap
ada. Mentalis demokratik itu tertuang dalam pandangan optimistik dan
idealistik.
3. TNJAUAN
PRAKTIS
Realitas budaya
politik di Indonesia ini tentang fenomena selebritis politik dan politisasi
selebritis belakangan ini menjadi perbincangan hangat. Banyaknya para
selebritis ikut andil dalam bursa pencalonan diri sebagai kepala daerah dan
calon legislatif. Latar belakang profesi para artis yang menjabat sebagai
kepala daerah atau anggota DPR bermacam-macam, mulai dari ragam profesi sebagai
artis sinetron, bintang iklan dan pelawak. Hal ini menjadi fenomena karena
kesuksesan menjadi anggota DPR atau kepala daerah tertentu sangat menggiurkan.
Keternaran dan kewibawaan sebagai pemimpin mempunyai nilai tersendiri
dikalangan artis. Hal ini menjadi perhatian banyak orang, padahal di negara
luar hal ini menjadi lumrah seorang artis mencalonkan dirinya sebagai politisi.
Fenomena ini terjadi karena di Indonesia telah merasuk budaya pop (pop culture)
dan politik praktis.
Keterlibatan para
selebritis berkecimpung di dunia politik tentu saja menimbulkan pro dan kontra.
Fenomena ini menjadi perdebatan dari dahulu hingga sekarang. Bagi masyarakat
yang pro atau membela tentu saja memandang hal ini sebagai hak asasi manusia
dan sifatnya sah-sah saja para artis untuk mencalonkan dirinya keranah
perpolitikan dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan duduk dalam
parlementer. Berbeda halnya bagi kalangan yang kontra atau kelompok yang
menentang tentu saja menolak karena menganggap bahwa para selebritis cenderung
mengandalkan penampilan fisik dibandingkan wawasan dan keahlian dalam kemampuan
berpolitik.
Pandangan tentang
keterlibatan selebritis dalam kancah perpolitikan merupakan suatu kebebasan
yang menjadi bagian haknya sebagai warga negara. John Stuart Mill, mengemukakan
bahwa suatu konsepsi kebebasan
menyertakan gagasan-gagasan pengembangan diri dan peningkatan kemampuan diri. Maka keterlibatan
seorang selebritis dalam bursa pencalonan menjadi pemimpin daerah merupakan
suatu peningkatan eksistensi diri dan proses pengembangan diri dalam
peningkatan kualitas hidupnya. Pandangan miring yang hinggap di atas nama
pencalonan seorang selebritis merupakan suatu bumbu politik.
Istilah Celebrity
politic atau yang lebih kita kenal sebagai selebritis politik telah menjadi
bagian dalam dunia perpolitikan di dunia khususnya di Indonesia. Dari tahun
ketahun dunia pemilihan umum diramaikan oleh wajah-wajah populer artis. Bagi
kalangan para artis sosialisasi menjadi hal yang tidak terlalu berat. Dengan
modal popularitas yang mereka miliki sosialisasi dalam era pemilihan ketua
daerah atau pemilihan untuk wakil legislatif. Cara kampanye yang digunakan para
politisi di Indonesia adalah dengan berbasis media, baik media
televisi, internet dan spanduk. Hal ini sudah mempengaruhi budaya kampanye di
Indonesia. Kampanye dengan melalui media internet dilakukan dengan bantuan
jejaring sosial seperti friendster, facebook, dan bloger dinilai lebih efektif
bagi pemilih muda.
Sistem pemilihan
langsung menuntut para calon pemimpin ini ekstra kerja keras dalam
mensosialisasikan dan mempromisikan dirinya dengan tujuan agar terpilih
nantinya. Para politisi berlomba-lomba membuat iklan untuk ditayangkan di
televisi dengan menggambarkan diri mereka sebagai orang yang peduli akan
sesamanya. Misalnya politisi Rizal Malarangeng yang berusahamendeskripsikan dirinya
sebagai orang yang peduli dengan kaum-kaum yang termarjinalkan. Petani, nelayan danpenduduk papua dalam
iklan tersebut digambarkan dengan akrabnya, bergaul dan berbaur dengan Rizal
Malarangeng.Seluruh para elit politik pada saat musim kampanye banyak yang
mendekatkan diri dengan rakyat, berusaha merasakan kehidupan masyarakat kecil,
mencoba menarik simpati para masyarakat kecil.
Ketenaran dan
polpularitas sangat mempengaruhi besar kecilnya suara yang akan diperoleh. Hal
ini disebabkan oleh sistem pemilihan umum yang berlangsung di Indonesia yang
lebih mementingkan popularitas dibandingkan visi dan misi dari seorang calon
kandidat. Diperparah lagi dengan minimnya peran serta masyarakat dan kurang
pahamnya mereka tentang calon kandidat, kemampuan dan pengalaman dibidang
pembangunan masyarakat menjadi hal yang tidak penting bagi masyarakat umum.
Kecenderungan para selebritis terjun dalam panggung perpolitikan menimbulkan
selentingan bahwa para selebritis hanya ikut-ikutan karena melihat teman
sejawatnya yang terjundalam panggung politik sukses dan menduduki jabatan terpenting.
Melibatkan artis
sinetron atau public figure dalam mensosialisasi partai
politik tertentu dinilai sangat efektif. Hal ini merupakan strategi partai
politik untuk mengeksistensikan partai. Dalam sosialisasi politik terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi partai, yaitu : kapital, popularitas
tokoh, mesin partai politik dan marketing politik. Ada yang berpendapat bahwa
perekrutan atris sebagai kader sebenarnya hanya dimanfaatkan oleh partai
politik. Tetapi pendapat lain bahwa artislah yang memanfaatkan partai politik
untuk menjadikan sumber pendapatan baru bagi para selebritis.
Ada sebuah artikel
yang berjudul "Celebrity Politicians: Popular
Culture and Political Representation"yang ditulis oleh John Street. Pada
dasarnya menjadi hak selebritis untuk mengandalkan penampilan fisik dan
kepopulerannya untuk masuk ke dunia politik. Namun menurut street, selebritis
yang memasuki dunia politik belum tentu layak dalam profesi barunya sebagai
politisi. Menurut street istilah “selebritis politik” tidak dapat
digeneralisasikan karena terdapat dua pemahaman tentang hal tersebut. Pemahaman
yang pertama bahwa “selebritis politik” yang sepenuhnya menggunakan sisi
keartisannya, dan pemahaman yang kedua bahwa “selebritis politik” yang
sepenuhnya meninggalkan sisi keartisannya dalam arti ia sepenuhnya menekuni
aktivitas sebagai aktivis politik yang menyuarakan perdamaian dan kritis dalam
menilai kebijakan.
Partai politik
mempunyai fungsi sebagai sarana pengrekrutan politik. Dalam fenomena ini partai
politik memanfaatkan fungsinya sebagai tempat pengrekrutan para selebritis yang
ingin menggunakan haknya untuk ikut serta dalam dunia perpolitikan. Mekanisme
yang terjadi dalam hal ini adalah partai politik mencari dan mengajak orang
yang dinilai berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota
partai. Maka akan memperluas partisipasi politik. Partai politik menarik dari
golongan selebritis dan golongan muda untuk dididik menjadi kader untuk masa
yang akan datang serta menjaga eksistensi partai politik tertentu.
Pro
dan kontra dalam keterlibatan selebritis dalam panggung perpolitikan di dalam
masyatakat akan terus berlangsung jika budaya popular yang kita anut telah
terlepas dari diri kita. Bahwa pada dasarnya mereka
bisa memperoleh pengaruh karena kekayaan, popularitas, daya tarik, pengetahuan,
keyakinan atau karena kualitas tertentu yang dikagumi oleh
orang-orang lain. Jadi kekuasaan seseorang dalam hal ini selebritis lebih
berpeluang dalam memperoleh tahta kekuasaan yang lebih besar karena mereka
memiliki popularitas serta didukung oelh budaya masyarakat kita yang menganut
budaya pop.
Ketenaran seorang
selebritis memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan karier dalam
dunia perpolitikan khususnya di Indonesia. Bagaimana interaksinya dengan para
awak media infotaiment memberikan kontribusi pandanganbagi masyrakat
tentang kepribadian seleberitis yang bersangkutan. Menurut
pandangan Denzin, kultur dalam makna dan bentuk interaksionalnya, menjadi ajang
perjuangan politik. Pencitraan yang dilakukan oleh selebritis dalam membangun citra
yang baik merupakan bagian dari bentuk politiknya yang tidak selalu berbentuk
utuh politik parlementer.
Budaya perpolitikan di
Indonesia mempunyai ciri perpolitikan yang sama dengan negara berkembang
lainnya. Dimana menilai seseorang tentang bagaimana dapat memiliki kekuasaaan
didasarkan pada faktor-faktor berikut: kekayaan, memiliki kapasitas
intelektual, integritas moral, kharisma, keterunan dan proses politik &
sosial. Pada dasarnya seseorang berpolitik untuk mengatur dengan
mengkolektifkan kepentingan bersama agar mencapai kehidupan yang lebih baik.
Perpolitikan disuatu negara menyangkut pada kekuasaan. Kekuasaan menurut Weber
merupakan kemungkinan seseorang untuk memaksakan orang lain untuk berperilaku
sesuai kehendaknya. Kemungkinan orang memiliki kekuasaan di Indonesia lebih
banyak berdasarkan faktor kekayaan. Maka ada istilah “siapa yang kuat dialah
yang dapat”. Realitas perpolitikan di Indonesia mempunyai banyak kepentingan dan
terkesan berebut tahta kekuasaaan.
Sistem budaya
perpolitikan di Indonesia menganut sistem multipartai. Hal ini disebabkan oleh
keanekaragaman masyarakat di Indonesia mulai dari ras, agama, suku bangsa.
Dalam politik multi-partai golongan-golongan masyarakat cenderung menyalurkan
ikatan-ikatan terbatas dalam satu wadah. Maka tidak heran dalam sistem politik
multi-partai sering kali partai yang tidak cukup kuat bertemu untuk membentuk
koalisi dengan partai-partai lain.
Partai politik
merupakan bagian dari perilaku kolektif yang bersama-sama yang mempunya tujuan
yang sama. Menurut James S. Calomen, baik
aktor kolektif maupun aktor individual mempunyai tujuan. Komitmen dalam partai
politik bahwa mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Sebuah
pandangan hidup yang dinanti-nantikan oleh masyarakat khususnya di Indonesia.
Pada saat musim kampanye berlangsung para calon pemimpin dari masing-masing
politik menggambar-gemborkan jargon “kami akan mementingkan kepentingan bersama
daripada kepentingan pribadi kami”. Kalimat yang menggelitik bagi masyarakat
yang mendengarnya. Bagi calon pemimpin dari partai tersebut hal ini merupakan
usaha untuk meyakinkan rakyat akan keseriusannya dalam merubah tatanan yang
sudah ada.
4. ANALISIS
Kapasitas
artis awalnya sebagai penarik massa dan menduduki posisi legislatif, namun saat
ini para artis mulai memasuki wilayah eksekutif. Rano Karno dan Deddy Mizwar
menjabat sebagai wakil bupati tanggerang dan wakil bupati gebernur Jawa Barat.
Dengan berhasilnya mereka di kancah politik, pra artis lainpun mengikuti
mereka.
Sebagai
wakil rakya, setidaknya ada tiga syarat yang harus di penuhi: memiliki
kejelasan visi (vision), daya dukung
public memadai (acceptability) dan rasa tanggung jawab (responsibility). Akan
tetapidengan maraknya dunia inforaiment (media massa), syarat-syarat yang harus
dipenuhi tersebut seolah-olah menjadi kabur. Kegiatan artis sudah terpantau
habis-habisan oleh public sehingga masyarakat merasa dekat dengan artis yang
mencalonkan diri sebagai tokoh politik dibandingkan dengan calon lain yang
belum pernah mereka lihat sebelumnya. Publikasi media tentang kehidupan pribadi
dan profesi membantu mereka mendapatkan popularitas dan citra serba baik atau
hebat.
Kemenangan
actor rano karno menjadi wakil bupati berpasangan dengan ismet iskandar sebagai
bupati dalam pemilukada kabupaten Tanggerang memotivasi selebritis lainnya
mencoba masuk ke dunia politik. Hal itu menguatkan kenyattan bahwa politisi
selebritis telah menjadi fenomena.
Fenomena
politisi selebritis menunjukan pendangkalan dunia politik yang sekurangnya
mengindikasikan dua hal. Pertama, kekurangan kepercayaan diri para politisi dan
pengurus parpol dalam menjual program kerja ke masyarakat. Kedua, lemahnya
harga tawar ideology di masyarakat. Mungkin ideology telah mati. Jadi politisi
selebritis dimaksudkan untuk mendongkrak dukungan.
Salah
satu factor yang membantu rano adalah citra positif sebagai pribadi realistis
sederhana, pekerja keras dati kaum bawah yang sukses dalam karier dan citara
melalui sinetron Si Doel Anak Sekolah. Citra itu tertanam di masyarakat
seantero Indonesia, bukan hanya komunitas betawi.
5. PENUTUP
Kesimpulan
:
Sebagai
kesimpulan dari tulisan dapat disarikan beberapa hal sebagai berikut :
1.
Motivasi politik artis menjadi anggota legislatif Daerah Pemilihan Jawa Timur
dalam Pemilihan umum 2004 adalah berkuasa, di samping itu ada juga yang hanya
ikut-ikutan saja untuk meningkatkan popularitasnya akibat pengaruh media yang
selalu memberitakannya.
2.
Partai politik berusaha mencari artis untuk dijadikan calon anggota legislatif
dikarenakan di dalam masyarakat sedang terjadi krisis kepercayaan pada parpol
berusaha untuk menarik massa dengan menggunakan publik figur yang cukup
terkenal yakni dari kalangan selebritis. Alasan lain dari perekrutan artis oleh
parpol untuk menjadikan calon anggota legislatif karena kurangnya kader partai
yang berkualitas.
Saran
- saran :
1.
Kepada artis yang berkeinginan menjadi anggota legislatif diharapkan
meningkatkan kemampuan intelektual, kepekaan terhadap fenomena dan aspirasi
yang berkembang di masyarakat serta kualitas berpolitik secara benar dan jujur.
2.
Bagi parpol yang akan merekrut artis untuk menjadi calon anggota legislatif,
diharapkan membuat suatu standarisasi kualitas dangan menggunakan prosedur yang
telah ditetapkan, sehingga akan diperoleh calon yang sungguh-sungguh
berkualitas di bidanhnya masing-masing.
3.
Perlu penelitian lebih lanjut tentang kualitas atau bobot para artis setelah
menjadi anggota legislatif sebagai bentuk monitoring dan tanggung jawab parpol
terhadap keberadaan artis di lembaga legislatif, sebab keingin-tahuan
masyarakat sangat besar terhadap para wakilnya dari kalangan artis tersebut.
6. DAFTAR
PUSTAKA
0 Response to "TUGAS KEWARGANEGARAAN"
Post a Comment